Saturday 26 February 2011

Kebahagiaan Adalah Anugerah

Kebahagiaan tidak lain adalah limpahan kurniaan Ilahi, bukan merupakan sebuah hasil usaha semata-mata. Seperti masuknya hamba-hamba yang soleh ke dalam syurga bukan kerana amalan mereka semata-mata yang mana sebut saja tidak terhitung jumlahnya menurut ukuran manusia melainkan Karena rahmat dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam sudut pandangan ikhtiar atau usaha, Ahlus Sunnah berkeyakinan bahawa manusia diberikan kebebasan memilih, jalan kebahagiaan atau kesengsaraan. Tetapi seluruh usaha manusia mahu atau tidak akan terikat dalam sebuah ketetapan pasti iaitu takdir Allah SWT.
Takdir adalah hak mutlak milik Allah. Manusia hanya memiliki hak menebar untuk usaha, melakukan amalan, berikhtiar dan bekerja. Kita harus mengimani takdir apapun yang terjadi. Namun dalam usaha ikhtiar kita harus tetap berusaha, nescaya Allah akan memberikan kemudahan.
Ada dua kata kunci disini: takdir dan usaha. Keduanya tidak boleh dipisahkan. Dan keduanya, boleh menjadi pemancu terwujudnya gelombang kebahagiaan.
Pertama, takdir. Dengan meyakini takdir, seorang muslimah akan memiliki ketabahan, terutama di saat harus menerima dugaan musibah secara bertubi-tubi atau di saat menghadapi ancaman terhadap ketentraman hidupnya.
Allah berfirman,
مَآ أَصَابَ مِن مّصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلاَ فِيَ أَنفُسِكُمْ إِلاّ فِي كِتَابٍ مّن قَبْلِ أَن نّبْرَأَهَآ إِنّ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرٌ
“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa dibumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakan-nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)
Ketabahan itulah, yang akan menjadi pemancu kebahagiaan. Kerana ketabahan itu muncul melalui proses keimanan yang bertarung melawan pujuk rayu nafsu, melawan tekanan keadaan, untuk kemudian keluar sebagai pemenang, mendulang kurniaan petunjuk Allah.

Allah berfirman,
مَآ أَصَابَ مِن مّصِيبَةٍ إِلاّ بِإِذْنِ اللّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللّهُ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu…” (Ath Thaghabun: 11)
Hati yang mendapatkan petunjuk, nescaya memancarkan cahaya pasrah, menyingkirkan nafsu amarah, menepis rasa kesal dan kecewa sehingga lahirlah kebahagiaan itu.
Di sisi lain, keyakinan kepada takdir, menyemarakkan rasa kesegaran untuk berfikir, kerana dasar keyakinan bahawa Allah akan memberikan pahala, bagi orang-orang yang tabah dan sabar.
وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُواْ جَنّةً وَحَرِيراً
“Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena ketabahan mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera…” (Al Insan: 12)
Kedua, adalah usaha yaitu usaha yang baik atau amal sholeh yang dilakukan seorang mukmin, memiliki nilai yang baik. Berkaitan dengan kandungan rasa keikhlasan dan kekuatan dan kekuatan peneladanan terhadap manusia terbaik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam yang terdapat di dalamnya. Dua kandungan itu, bagaikan nyawa dan kekuatan. Membuat usaha yang dilakukan oleh seorang mukmin berpengaruh impresif, menekan jauh ke lubuk jiwa, melakukan kepuasan yang tiada tara. Tidak peduli, apakah usaha itu pada akhirnya menampakkan hasil, atau terjatuh pada lubang-lubang kegagalan. Dalam konteks ini, usaha apa pun yang dilakukan oleh seorang muslim tidak lepas dari bingkai ibadah, atau penghambaan diri kepada Allah. Semakin hebat usaha yang dilakukan, semakin meningkat kualiti kehambaannya.
Sebagai contohnya, ibadah solat diyakini mampu menjadi media penyejuk hati, bila dilakukan dengan khusu‘ dan diselubungi dengan kesabaran jiwa…
يَآأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصّبْرِ وَالصّلاَةِ إِنّ اللّهَ مَعَ الصّابِرِينَِ
“Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al Baqoroh: 153)
Dari kenyatnaa di atas, kita dapat menyimpulkan sebuah fenomena yang cukup menarik. Kebahagiaan itu lebih sering muncul, setiap kali seorang muslim selesai melakukan pekerjaannya. Disebut dengan kata lebih sering muncul, kerana selesai atau tidak suatu pekerjaan, berhasil atau tidak suatu usaha, tidak akan mempengaruhi kebahagiaan yang bakal diperolehi oleh seorang muslim. Di saat gagal berusaha, seorang mukmin tetaplah berbahagia, kerana pengaruh mutiara ketabahan yang tertanam kuat dalam jiwanya. Di saat ia berhasil, ia akan memperoleh lebih kebahagiaan, kerana rasa syukurnya. Itulah keajaiban seorang mukmin!
“Sungguh ajaib sikap seorang mukmin! Karena segala sesuatunya baik baik baginya. Hal itu hanya berlaku bagi seorang mukmin saja. Apabila ia mendapatak kesenanagan, ia bersyukur. Itu menjadi kebaikan baginya. Dan apabila ia tertimpa musibah, ia tetap tabah, maka itu pun menjadi kebaikan baginya.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2999)

Sekali lagi, kebahagiaan itu lebih mudah dirasakan oleh seorang muslim ketika sedang menyelesaikan pekerjaannya. Adapun rasa syukur yang ia ungkapkan, menjadikannya nilai lebih. Meskipun secara umum, rasa syukur itu lebih mudah dilakukan, daripada ketabahan di saat terjadinya musibah. Disebutkan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya, ketabahan yang sejati itu ada pada guncangan pertama kali ketika terjadinya musibah.”(Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shohihnya I: 430)
Rasa syukur akan memberikan nilai lebih, terhadap penyegaran hati dan ketenteraman jiwa. Dari situlah, sebuah kurnia akan semakin terasa kenikmatannya.
Sebagaimana realiti kehidupan, kebahagiaan biasa hadir di saat seorang hamba mengakhiri ibadah puasanya selepas maghrib. Kehadirannya bagaikan kebahagiaan utama yang luar biasa nikmatnya.
“Orang yang melaksanakan ibadah puasa, memiliki dua kebahagiaan, yang pasti akan dirasakannya: Saat berbuka, ia berbahagia karena selesai berpuasa. Saat berjumpa dengan Allah, ia berbahagia, karena ibadah puasanya.” (Diriwayatkan oleh Al Bukari II: 673, oleh Muslim II: 807 dan At Tirmidzy III: 137)
Kebahagiaan yang didapatkan oleh seorang muslim lebih bersifat nyata dan pasti, kerana merupakan dua senyawa yang terkait antara satu dengan lain. Iaitu takdir Allah dan usaha manusia dengan cara yang benar dan ikhlas. Sementara bagi orang yang tidak beriman, kebahagiaan hanyalah merupakan ‘letupan’ sesaat, tatkala menemukan hal-hal yang disukainya, atau terlepas dari beban yang menghimpitnya. Nilainya pun hanyalah sesaat, kerana tidak memiliki ruang keikhlasan dan kekuatan.
Kebahagiaan tetaplah rahasia Ilahi, meskipun ’sejuta manusia’ menggapai langit dan menggali bumi, demi kebahagiaan sejati.
Keyakinan terhadap takdir, menjunjung manusia ke arah ketabahan, kepasrahan dan keteduhan hati.
Keihlasan, bak mutiara terpendam, menyorotkan cahaya pasrah, menyambut keridhoan ilahi.


Peneladanan terhadapmu, wahai Nabiku, seringkali menggeser segala kesukaan kami terhadap segenap penghuni bumi. Itulah sebabnya, kehambaan kami bertahan hingga kini.
Saudari muslimah, berbahagialah dengan takdirmu, niscaya keabadian menghampirimu dengan segala keindahannya.
Saudari muslimah, berbahagialah dengan keislamanmu, niscaya surga dunia, juga surga akherat, berkenan menyambutmu…


Maroji’: Aku Wanita paling Bahagia (Abu Umar Basyier)




No comments: